Manusia terlahir di dunia tanpa bisa memilih. Terlahir berkulit putih, bermata binar ataupun terlahir dari keluarga ningrat, bukan kuasa manusia. Tuhan sudah menentukan sesuai porsinya masing-masing.
Melalui media fotografi (photo story), 7 rekan-rekan anggota HMJF berusaha bercerita beberapa segment kehidupan dari subyek yang mereka ceritakan. Kakek Saiman, Pandu dan Chondro merupakan sosok personal yang “daily life” nya menjadi bagian inspirasi bagi rekan-rekan HMJF.
Cerita tentang keluarga TPU Sama’an, keluarga pinggir rel kereta api dan keluarga kecil pak Kodir juga menghadirkan “drama kehidupan” yang lebih kompleks. Kedekatan pengkarya dengan subyek fotonya menjadikan sajian refleksi kehidupan ini patut diapresiasi. Bentuk pemanfaatan medium fotografi yang tepat ditengah euforia teknologi fotografi saat ini.
Semoga penggalan refleksi kehidupan ini menjadikan kita lebih mawas diri dan menjadikan manusia yang pandai bersyukur.
Plaosan, 09 Desember 2017
Ichwan “boljug” Susanto
Keluarga Kecil Pak Kodir
Foto & Teks : Stefanus O. Orlando
Menempati rumah sederhana berdinding seng dengan perabot seadanya, pak Kodir (39) membesarkan putra tunggalnya Fansa (12) serta merawat Mamik (33) istrinya yang sakit gagal ginjal sejak empat tahun yang lalu.Selain sebagai pekerja serabutan, pak Kodir memelihara ayam di pekarangan rumahnya untuk menambah kebutuhan sehari-hari.
Kebutuhan berobat maupun cuci darah (2 kali seminggu) istrinya, terbantu melalui fasilitas dari BPJS. Perjalanan kehidupan keluarga kecil pak Kodir menjadi refleksi kehidupan bagi kita semua.
Semoga lekas sembuh bu Mamik dan tetap semangat pak Kodir!
Semangat Hidup Pandu
Foto & Teks : Ahmad Bahrul Ulum
Pandu Permadi Laksono (24), pria bungsu dari tiga bersaudara asal kota Kediri menderita penyakit glukoma sejak November 2012. Lima bulan kemudian, penyakitnya ini membuatnya kehilangan penglihatan (buta total).
Kini kesehariannya ia habiskan di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang. Meski memiliki keterbatasan, nyatanya tidak membuat hidup Pandu berhenti begitu saja, ia bangkit dan membuktikan bahwa ia mampu berprestasi. Pada 5 mei 2017 ia menjadi perwakilan tuna netra se-Kota Malang dalam acara sosialisasi Pelayanan Publik Pojok Braille bersama Abah Anton, Walikota Malang.
Mengubah Stigma Negatif Melalui Gubuk Baca
Foto & Teks : Pangestu Setyo Budiman
Desa Kemantren, Kec. Jabung, Kab. Malang tersohor dengan sebutan Gang Tato. Sebuah perkampungan yang mempresentasikan warganya dengan kenakalan yang turun temurun. Mulai dari pemabuk, penjudi, sampai hobby merajah tubuh (tato).
Tidak terkecuali Chondro Pramono(38), menenggak minuman keras dan berkelahi sudah menjadi kebiasaan pria bertato ini di masa remajanya.
Kini stigma buruk yang melekat pada diri Chondro sekarang sudah menghilang. Berkeinginan untuk merubah citra buruk kampungnya dengan mewariskan hal positif kepada generasi dibawahnya. Bersama beberapa teman sebayanya, Chondro membuatkan sebuah gubuk baca di kampungnya.
Dengan adanya gubuk baca ini membawa perubahan yang signifikan di lingkungan Gang Tato. Hal buruk yang sudah lama melekat kini berangsur hilang. Dengan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
Semangat Diusia Senja
Foto & Teks : Wiji Ani Fitria
Hidup sebatang kara di kota besar seperti Malang bukan merupakan hal yang mudah. Contohnya Saiman, pria tua yang tinggal sendirian di rumah sempit berukuran 3×5 yang terletak di kawasan Muharto. Di usianya yang menginjak 118 tahun tidak menyurutkan semangatnya untuk menjalani kehidupan. Pria tua yang akrab disapa mbah Man tersebut mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali. Hasil penjualannya tidak banyak, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Memikul dua buah keranjang besar menyusuri gang sempit menjadi rutinitasnya.
Ia biasa berangkat saat hari menjelang siang, dan pulang di sore hari. Di sudut jembatan Muharto yang biasa dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar, disitulah Ia biasa berhenti. Membuka setiap bungkus plastik hitam untuk memilah dan memilih sampah yang bisa dijual. Tak jarang, uluran tangan orang lain kerap menghampirinya dalam bentuk barang, materi maupun perhatian.
Potret Keluarga di Pinggiran Rel Kereta Api
Foto & Teks : Mutis Renyaan
Sudah hampir 8 tahun keluarga Rosidi (38) tinggal di pinggiran rel kereta api kelurahan Kota Lama. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pencuci bawang pre di pasar gadang, saat ini hanya mampu menyewa rumah kecil untuk keluarganya. Ukurannya yang kecil, standar sanitasi dan keamanannya yang minim sudah menjadi bagian kehidupan keluarga ini. Perabot rumah tangga berdesakan dalam satu ruang yang berdampingan dengan kamar mandi. Sedangkan peralatan memasak mereka letakkan di luar rumah samping rel kereta api.
Di rumah kecil inilah Rosidi menghabiskan waktu bersama Nabia (30) istrinya dan Royhan (8) anak tunggal mereka. Sang istri hanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan Royhan masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Keluarga Rosidi hanyalah salah satu dari sekian keluarga yang tinggal di pinggiran rel kereta api di kelurahan Kota Lama.
Keluarga TPU Sama’an
Foto & Teks : Wulan&mike
Mendengar kata Tempat Pemakaman Umum (TPU) pastinya terbayang hal-hal yang menyeramkan. Bahkan di dunia perfilman, TPU identik sebagai “lokasi wajib” bagi film bertema horor.
Keseraman TPU tidak berlaku bagi sebagian warga kelurahan Samaan. Pemandangan batu nisan sudah menjadi visual wajib ketika membuka pintu belakang rumah. Bahkan area pemakaman menjadi tempat beraktifitas dan bermain untuk anak-anak keluarga TPU Sama’an.