Komoditas Utama Tak Menjamin Kesejahteraan Warga – Dini “Setjangkir Tjerita”

Komoditas Utama Tak Menjamin Kesejahteraan Warga

Kenikmatan secangkir kopi diibaratkan menjadi sebuah perantara sekelompok orang yang sedang berbagi cerita di pagi, siang bahkan malam hari. Apalagi sekarang kopi sudah merajalela dimana-mana baik dikalangan remaja maupun dewasa, contohnya saja di Malang banyak ditemui kedai-kedai yang tidak pernah sepi pengunjungnya. Dibalik kenikmatan yang tiada bandingannya, banyak perjuangan yang dilakukan para petani kopi untuk menciptakan kualitas rasa yang nikmat, sehingga penikmat kopi merasa kangen jika meninggalkan yang namanya ngopi.

Foto by Ulum

Kopi menjadi komoditas utama di Desa Srimulyo, Sukodono dan Baturetno Kecamatan Dampit, pasalnya tanaman tahunan ini sudah menemani kehidupan warga sejak tahun 1948. Kopi Sridonoretno yang merupakan gabungan kopi dari tiga Desa ini cukup terkenal di pulau Jawa, seperti pemaparan Sutikno (49) selaku bendahara di Asosiasi Sridonoretno, “kopi Sridnoretno ini yang saya tahu sering dikirim ke Malang dan Jakarta,“ katanya (12/08).  Tidak heran jika mayoritas pekerjaan warganya sebagai seorang petani kopi. Sangat dibutuhkan ketelatenan untuk mendapatkan kualitas kopi yang baik agar mendapatkan harga yang sepadan. Memang tidak banyak petani yang mengerti bagaimana cara mengolah kopi sehingga perekonomian di desa ini stagnan. Dilansir dari www.definisimenurutparaaahli.com stagnan sendiri berarti pertumbuhan tingkat ekonomi yang berjalan sangat lambat, yang mana tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut lebih kecil daripada tingkat pertumbuhan ekonomi potensial. Hal ini disebabkan dari berbagai segi, misalnya ditinjau dari lahan yang tidak mumpuni karena kepemilikan lahan di tiga Desa tersebut rata-rata 0,5 sampai 2 Ha.

Beberapa problematika harus segera diselesaikan, pasalnya jika petani mengharapkan penghasilan dari kopi saja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan secara material (sandang, papan red.). “Kalau mengharapkan kopi saja ya gak bisa mbak, malah sering mengeluh karena panennya tidak bisa lebat,” tutur Rarik Yuliati (46) warga Baturetno. Permainan pedagang besar pun cukup turut andil dalam sistem pemasaran, dimana mereka mempunyai peluang untuk menentukan harga. Dalam artian tidak ada patokan harga dari petani, pedaganglah yang mempunyai wewenang untuk menentukan harga. Sistem yang semacam ini terus diterapkan karena sudah ada kerjasama antara kedua belah pihak. “Kalau misalkan saya tidak punya pupuk, saya langsung minta bantuan pada pemasok kopi yang sudah jadi langganan saya,” ujar Suyadi (66) salah satu anggota kelompok tani. Oleh sebab itulah ada ikatan yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Semakin lama permasalahan ini jika dibiarkan akan menyebabkan kemiskinan struktural, dimana kemiskinan itu disebabkan struktur dan sistem ekonomi yang timpang (tidak berpihak pada si miskin), sehingga memunculkan masalah-masalah ekonomi yang semakin meminggirkan peranan orang miskin.

Komoditi unggulan ini seakan menjadi tanaman primadona yang kualitasnya sudah terbukti bagus dan layak. Dengan begitu sudah seharusnya warga menyadari dan memikirkan bagaimana kopi bisa menunjang perekonomian agar stabil. Namun realitanya sungguh memprihatinkan, banyak warga yang mempunyai mindset bahwasanya harga cenderung tetap dan rendah. Tanpa disadari hal ini disebabkan dari petaninya sendiri yang tidak menerapkan petik merah karena dari pemerintah sendiri tidak ada kebijakan tentang harga dan akhirnya membuat petani enggan memproses kopi yang berkualitas tinggi. Menilik permasalahan tersebut sistem tumpang sari pun menjadi alternatif pilihan, mulai dari tanaman kelapa, cengkeh, cabai, salak, pisang sampai tanaman tahunan seperti pohon sengon. Hal ini dilakoni semata-mata agar ekonomi mereka tetap berjalan. Lain halnya dengan mereka yang sudah bergabung di program Asosiasi Sridonoretno. Asal dari adanya Asosiasi sendiri, dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Ketiga desa tersebut mendapat program Farmer Emploitment Agricultural Technology Information (FEATY) dari Bank Dunia untuk pembelajaran dan peningkatan kebutuhan para petani sehingga petani dapat hidup mandiri dan profesional. Program ini berakhir tahun 2012 sehingga mucullah Asosiasi Sridonoretno. Mungkin banyak perbedaan yang menonjol mulai dari segi pemikiran, pengolahan bahkan pemasaran yang menunjang ekonomi menjulang tinggi. “Padahal kalau kopi diolah dengan profesional harganya pasti tinggi, makanya saya ingin merangkul warga untuk meningkatkan potensi masyarakat biar harga kopi mengikuti,” tutur Sugiono (51) selaku sekretaris satu di asosiasi.

Berdirinya asosiasi ini memang bertujuan meningkatkan sumber daya manusia dalam mengelola produk kopi, agar produk yang dihasilkan para petani memiliki standart yang sama sehingga bisa diterima dengan harga yang layak oleh pembeli serta SDM bisa bersaing dan sejajar dengan pengusaha. Kesuksesan sebagai seorang petani memang belum terjamin sepenuhnya, namun jika dimanfaatkan dengan maksimal kesejahteraan tentu bisa diraih. Seperti yang dirasakan Suprapti Ningsih (42), dirinya mengaku bahwa dengan adanya asosiasi ini bisa mengangkat ekonominya. “Contohnya saja saya mbak, keluarga saya dulu buat rumah ya dari penghasilan kopi. Makanya biar pun bapak saya petani kopi tapi bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat Perguruan Tinggi,” ujar salah satu anggota asosiasi yang menjabat sebagai seksi pemasaran/promosi ini.  Keuntungan yang bisa didapat dari tanaman kopi juga memberikan manfaat bagi kehidupan. “Kopi sebagai lumbungnya keluarga kalau kita butuh ya dijual, kalau tidak diperlukan bisa disimpan beberapa tahun tergantung keperluan,” tambahnya.

Belum adanya inisiatif dari warga untuk menjual kopi dalam bentuk bubuk juga menghambat perekonomian disana. Berbagai alasan terlontar dari beberapa warga seperti Nita Sastaviana (24) salah satu petani kopi, “kalau dijual bubukan ribet dan nggak ada alatnya mbak,” terangnya. Jika dilihat perbandingan harga sangat berbeda jauh bisa mencapai dua kali lipat dari penjualan 1 kg dalam bentuk greenbean. Kopi asalan harganya berkisar Rp. 28.000,- per kg pemasok terbesarnya ke tengkulak sedangkan kopi fermentasi bisa mencapai harga Rp. 40.000,- per kg yang dikirim langsung ke kedai kopi. Hal ini disebabkan karena kebanyakan petani mengolah kopi asalan bukan fermentasi yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan warganya. Di Srodonoretno sendiri memang melihat dari kesejahteraan manusianya terlebih dulu baru memproses kopi sesuai dengan kondisi daerah. Misalnya saja di daerah yang cukup air maka pengolahan kopi dengan metode fullwash tidak diterapkan. Solusi semacam ini juga meminimalisir sumber daya alam yang ada sehingga tetap bisa memproses kopi.

Terlepas dari problematika yang dihadapi warga, perekonomian disana tidak akan maju karena sejatinya pemerintah belum melirik tiga desa tersebut yang berakibat pada pola pikir yang tertinggal. Ketika pemerintah tidak memberikan kebijakan harga yang tepat terhadap komoditi kopi, maka petani menjual kopi pada tengkulak yang telah menjadi langganannya. Alhasil petani kopi hanya mengikuti harga pasaran. Meskipun kopi menjadi komoditas unggulan yang menjadi sumber mata pencaharian utama, hal itu tidak bisa mencukupi perekonomian dari segi ekonomi menengah ke atas. Padahal komoditi utama jika diolah secara profesional maka harga bisa naik dan mencukupi kebutuhan bahkan banyak contohnya yang sukses dari kesehariannya menjadi petani kopi.  Pengolahan kopi yang profesional akan memiliki aroma dan rasa yang lebih nikmat, harga pun lebih tinggi. “Mengolah kopi fermentasi itu kan untuk dikonsumsi jadi harus higienis dan tidak boleh menyerap bau apapun yang ada di sekitar tempat kopi dijemur, selain itu bisa mengangkat nilai jual kopi agar bisa dihargai lebih mahal,” jelas Chatarina Sri Pujiastuti (49) salah satu anggota asosiasi.

Kebanyakan kopi asalan ini langsung dijual ke PT. Asal Jaya yang terletak di Kecamatan Dampit dan tengkulak-tengkulak lainnya. Beda dengan kopi fermentasi yang dijual langsung ke kedai di Malang dalam bentuk bubuk dengan harga lebih mahal. Kedai tersebut bekerjasama dengan Aliansi Petani Indonesia (API) yang sekarang ini sangat membantu desa Sridonoretno. API sendiri telah memberikan bantuan fasilitas seperti alat pulper (mesin untuk meggiling biji kopi yang tujuannya untuk memisahkan biji dengan kulitnya setelah difermentasi).

Memberikan bantuan tersebut juga mempunyai tujuan yaitu kesejahteraan lebih terjamin dan banyak yang menerapkan pengolahan kopi fermentasi serta bisa mengangkat perekonomian menengah ke atas. Tetapi jika harga selalu dikuasai konsumen dan tanpa ada sosialisasi, maka akan mengarah ke sistem pasar monopoli (banyak konsumen tetapi hanya ada satu penjual) dan oligopsoni (harga di pasar dikuasai oleh konsumen (tengkulak)). Pola pikir warga perlu adanya perubahan setelah melihat kesuksesan petani kopi lainnya, lebih memikirkan tentang rasa sehingga harga bisa mengimbangi. Apalagi sudah ditunjang dengan sistem lahan yang berlaku yaitu setiap petani yang memiliki kebun kopi sudah mewariskan lahan kepada anak cucunya, sehingga kesuburan dan keamanan kebun tetap terjaga. “Kita harus berpikir ke depan dengan menggunakan pupuk alami, biar lahannya bisa ditanami apapun agar anak cucu kita bisa memenuhi kebutuhan hidupnya kelak,” tutur Suwaji adi (47) ketua kelompok tani Panggungrejo.

Membahas cerita tentang kopi dan perjuangan petani kopi memang tidak ada habisnya, Sekretaris Jenderal dari API sendiri Muhammad Nurudin sangat mengharapkan dengan komoditas utama kopi dapat menjamin kesejahteraan petani kopi di Sridonoretno. Kebijakan harga dari pemerintah juga sangat dibutuhkan agar petani bisa mematok harga supaya adil dan tidak mengakibatkan kemiskinan struktural. Kualitas kopi sebagian besar ditentukan oleh penggunaan pupuk, maka dari itulah jika ada bantuan dari pemerintah berupa pupuk organik secara otomatis mungkin bisa mendongkrak perekonomian yang lebih bagus. Selain itu perlu sekali adanya sosialisasi mengenai sadar petik merah sehingga perjuangan bisa terbayarkan dengan harga mahal. (DiniSetya/HMJF)

About the Author: hmjfunikama

HMJF merupakan salah satu UKM yang ada di Universitas Kanjuruhan Malang. Berdiri sejak 10 Juni 1989. HMJF berkecimpung dibidang Fotografi dan Jurnalistik. Sebuah tempat untuk membentuk karkater, kepribadian dan pengembangan bakat, minat, serta kreativitas.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *