Karya Jurnalistik Pasca AM “Filosofi – Kemandulan Gerakan Mahasiswa” by Desi Wijayanti

KEMANDULAN GERAKAN “MAHASISWA

Oleh: Desi Wijayanti

 

 

Ketika mendengar kata “mahasiswa”, apa hal pertama yang terlintas dalam benak anda? Siswa lulusan SMA yang melanjutkan perguruan tinggi, demo, atau ada yang lain. Apapun itu, setiap individu yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi disematkan titel besar yang disebut “mahasiswa”.

Zaman dengan teknologi tinggi semakin membuat anak di Indonesia mampu mendapatkan titel tersebut. 154.683.775 penduduk indonesia yang berhasil menamatkan di tingkat perguruan tinggi per awal tahun 2014 (data.go.id). Jumlah yang cukup fantastis mengingat masih banyak anak indonesia yang putus sekolah, namun apakah jumlah tersebut paham tentang makna dasar mahasiswa itu sendiri?.

Pengertian mahasiswa secara etimologi biasanya sudah sering disampaikan saat masa orientasi perguruan tinggi, sayangnya permaknaan ini hanya digunakan untuk mempercantik doktrin senior semata. Seolah kata “maha” di depan siswa menjadi mantra.

Maha sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti sangat, besar, dan mulia. Sedangkan siswa berarti murid. Jadi dapat diartikan bahwa mahasiswa merupakan murid yang mulia. Sebab ia akan terus belajar dan memperjuangkan hak bukan hanya untuk dirinya tapi untuk masyarakat sekitar. Masih basah dalam ingatan bagaimana berapi-apinya semangat mahasiswa di zaman dulu, saat orde lama hingga masa reformasi. Peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah menunjukkan bahwa mahasiswa menjadi tonggak perjuangan kala itu.

Sebut saja Tiga Tuntutan Rakyat atau lebih dikenal sebagai peristiwa Tritura. Peristiwa ini terjadi pada 12 Januari 1966, dengan dikeluarkannya tiga tuntutan rakyat oleh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Hal ini lah yang menjadi alasan adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Selanjutnya yaitu peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), pada hari itu perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei datang perkunjung ke Indonesia. Hal tersebut mendapat perhatian dari mahasiswa untuk menyambutnya dengan cara berdemonstrasi, karena mahasiswa merasa Jepang menjadi pemeras ekonomi. Terbukti dari Jepang yang mengambil 53% ekspor serta 20% impor di Indonesia.

Pada tanggal 12 Mei 1998, terjadi penembakan empat mahasiswa Trisakti saat melakukan demonstrasi yang menuntut turunnya Soeharto. Sampai saat ini masih banyak yang menyayangkan akan peristiwa Trisakti. Tidak hanya itu, banyak tokoh mahasiswa yang namanya sudah terkenal, seperti Soekarno, Dr. Soetomo, Tirto Adisuryo, Boedi Oetomo, Soe Hok Gie, Arief Budiman, Hariman Siregar, dan lain sebagainya.

Aksi turun jalan, dan suara-suara menggelegar saat mengkritisi kebijakan menjadi ciri khas dari mahasiswa yang kerap kali dilakukan. Namun kini gerakan-gerakan mahasiswa tersebut tidak terdengar lagi gaungnya, seakan mengalami kemandulan.  Ironis ketika melihat kondisi mahasiswa kini, fokus terhadap nilai akademis, apatis, hingga berfoya-foya. Seolah mereka ternina bobokkan dengan gelar kebesarannya “mahasiswa”. Mereka terlalu terlena dengan mimpi-mimpi indah dari kenangan masa lalu, sehingga membuat mereka lupa apa peran dan fungsi mahasiswa sebenarnya.

Faktor akademis menjadi alibi mereka, seolah kebebasan mereka terkerangkeng dalam kebijakan-kebijakan kampus yang kadang mencekik mahasiswa. Kebijakan yang kadang hanya mementingkan akademis saja, sehingga kadang Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kurang diperhatikan. Mencetak mereka menjadi mahasiswa dengan IPK tinggi, Cume Laude, serta lulus tepat waktu. Sifat kritis yang menjadi cirinya seolah terkikis secara perlahan, membutakan hati mereka untuk perduli pada sesama serta masyarakat luas.

Sebut saja kerusakan alam yang terjadi di Pati, Jawa Tengah dimulai pada tahun 2006 akibat adanya Group Indocement yang masuk. Lahan seluas 2600 Ha terlihat tandus karena selalu dikeruk untuk bahan dasar pembuatan semen. Alhasil lahan para petani kehilangan lahan pekerjaannya, belum lagi masalah kekurangan dan pencemaran air yang menjadi dampak negatif lainnya.

Belum tuntas masalah pabrik semen, kini kebijakan tentang reklamasi besar-besaran melanda tanah air. Reklamasi pertama terjadi di teluk Benoa, dengan area yang akan direklamasi seluas 700 Ha pada Desember 2011 lalu. Padahal saat itu menurut Pilpres 2011 teluk Benoa masih berstatus kawasan konservasi.Tiga tahun kemudian pada Mei 2014 teluk Benoa telah berubah menjadi kawasan budidaya atau kata lainnya boleh direklamasi.

Kebijakan selanjutnya pada Mei 2015 tentang tanah Papua yang dijadikan lumbung pangan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Presiden RI Joko Widodo, selama kurun waktu tiga tahun akan membangun 1,2 Juta Ha sawah. Padahal tanah di sana lebih cocok ditanami pohon sagu, karena masa panennya lebih cepat dan mudah untuk diolah menjadi bahan pangan pokok.

Kebijakan-kebijakan terus bergulir, namun mahasiswa seolah tuli dan membisu dengan yang terjadi. Tuntutan zaman seolah menjadikan mereka mahasiswa kekinian dengan kepragmatikkannya dan kehedonisan semata. Semangat heroik yang dimiliki mahasiswa menjadi mandul, lagu perjuangan mahasiswa yang dinyanyikan seolah hanya sebagai pemanis bagi mahasiswa baru yang masuk. Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Agent of change serta penstabil kondisi masyarakat telah luntur.

Bagaimanapun mahasiswa kini di mata masyarakat, mereka akan selalu disebut mahasiswa, seperti yang diungkapkan oleh Nanang Pujiastika, M.Pd selaku kepala BAU Universitas Kanjuruhan Malang. Lalu melihat kondisi saat ini masih pantaskah kita menyandang kata maha didepan siswa tersebut?

 

 

 

 

About the Author: hmjfunikama

HMJF merupakan salah satu UKM yang ada di Universitas Kanjuruhan Malang. Berdiri sejak 10 Juni 1989. HMJF berkecimpung dibidang Fotografi dan Jurnalistik. Sebuah tempat untuk membentuk karkater, kepribadian dan pengembangan bakat, minat, serta kreativitas.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *