MEMPERKENALKAN KOPI SEJAK DINI
Menjadi seorang remaja adalah masa-masa yang menggembirakan. Masa dimana menjadi seorang pelajar yang mulai suka melakukan aktivitas diluar bidang akademik. Untuk itulah banyak sekolahyang memberikan fasilitas pengembangan diri atau biasa disebut dengan ekstrakulikuler. Ekstrakulikuler ini berperan sebagai wadah bagi siswa untuk melatih, mengasah dan mendapatkan pengetahuan lebih tentang bakat dan minat yang mereka miliki. Tentunya juga sebagai tempat untuk mendapatkan pengalaman dan keahlian yang tidak diajarkan di ruang kelas karena cenderung lebih banyak praktek.Jenis pendidikan non formal ini diperkenalkan oleh sekolah di Indonesia mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTS), dan Sekolah Menengah ke Atas (SMA/MA). Jenis pengembangan diri yang disediakan sekolah sangatlah beragam mulai dari pramuka, kesenian, tari,bela diri, karate, baca tulis Al-Qur’an dan masih banyak yang lainnya.
Jenis ekstrakulikuler yang diberikan oleh setiap sekolah tergantung dari minat siswa dan keadaan potensi alam di sekitar. Dampit, salah satu Kecamatan di Malang selatan ini sangat terkenal dengan kota penghasil kopi. Bahkan saat berjalan-jalan di Kota Malang saja menu kopi Dampit hampir menjadi favorit masyarakat Malang dan sekitarya.Sebagai sebuah potensi daerah yang perlu dikembangkan, dilestarikan dan diperkenalkan kepada khalayak umum, para petani kopi di Dampit ini mulai menggandeng remaja dan anak-anak. Salah satunya yaitu dengan mengadakan dan memasukkan ekstrakulikuler pengolahan kopi ke dalam kurikulum sekolah.
Hal ini berawal dari asosiasi Sridonoretno atau yang biasa dikenal dengan asosiasi SDR. Asosiasi ini dibentuk oleh Asosiasi Petani Indonesia (API) yang terdiri dari beberapa petani dari tiga Desa yaitu Srimulyo, Sukodono dan Batu Retno. Eko Yudi Sukrianto (49) selaku ketua asoasiasi menjelaskan bahwasanya saat ini sudah jarang bahkan hampir tidak ada warga yang menempuh pendidikan di bidang pertanian. Padahal mata pencaharian warga di tiga desa tersebut mayoritas adalah petani kopi. Mayoritas petani kopi masih mengolah kopi secara asalan sehingga harga kopi terbilang cukup murah. Berbeda dengan harga kopi yang ditawarkan oleh asosiasi petani kopi SDR yang terbilang lebih mahal. Hal inilah yang melatar belakangi Sukrianto untuk mulai menggandeng remaja dan anak-anak agar mereka memahami lebih dalam tentang kopi. Pria yang sering dipanggil Sukri ini menjelaskan bahwa ia berniat menggandeng dua sekolah yaitu MTSAl Ikhlas yang berada di Petung Sigar dan MTS. Ashari Ulum.
Pada awalnya, siswa di sekolah tersebut diberikan sebuah pengetahuan atau semacam penyuluhan mengenai bagaimana cara mengolah kebun hingga hasil kebunnya dengan baik sesuai standar dari asosiasi SDR tersebut. Penyuluhan ini dilakukan oleh salah satu orang yang sangat mengerti tentang kopi yaitu dari ketua asosiasi. Tujuannya agar anak didik (siswa red.) bisa mengetahui cara mengelola perkebunan kopi dengan baik dan benar sejak dini. “Mereka biar faham, karena banyak generasi muda sekarang ini sudah mulai tidak peduli dengan perkebunan kopi,” ungkap Siadi (39) saat memberikan penyuluhan terhadap siswa. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Sukri, bahwapenyuluhan ini untuk menggandeng siswa dan siswi MTS supaya menanamkan rasa cinta kepada anak-anak terhadap bumi yakni lingkungan yang mereka tempati saat ini. Untuk bisa bersekolah masyarakat setempat menggunakan hasil dari pertanian untuk biaya pendidikan putra putrinya, sudah sepatutnya mereka menjaga apa yang dimiliki. Selain itu juga memberi gambaran tentang betapa gersangnya bumi saat ini karena banyaknya pengaruh bahan kimia yang mulai merusak kesuburan tanah. Sebagai generasi muda sudah sepatutnya membantu merawat lingkungan sekitar agar tetap sehat dan tidak terkontaminasi. Terlebih lagi yaitu untuk mensejahterahkan kehidupan sebagai seorang petani yang unggul.
Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Rokib (42) selaku Kepala sekolah MTS Al-Ikhlas. “Dengan dasar bahwa masyarakat berada dalam lingkungan kopi dan kurang paham tentang pengolahan kopi sehingga pengolahannya kurang maksimal, padahal jika lebih dirawat secara bertahap kopi itu bisa mensejahterahkan rakyat,” ungkap pria yang akrab di panggil Pak Rokib ini. Pria yang juga sebagai salah satu anggota Unit Pengelola Hasil (UPH) di Dampit ini juga menuturkan bahwa kemauan siswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi terbilang minim. Oleh karena itu, selama masih dalam lingkup sekolah siswa sudah sepatutnya mereka dibekali keahliandalam pengolahan kopi agar ketika tidak melanjutkan sekolah bisa mengerti cara mengolah kopi yang benar.
Program yang akan dilaksanakan pada bulan September ini diberikan kepada peserta didik kelas VII dan VIII karena dirasa sudah cukup mampu untuk menerima teori dan praktek lapangan.“InsyaaAllah bulan September progam ini akan mulai dijalankan mbak,siswa nantinya akan dibekali pengetahuan seperti pembibitan, pemupukan, perawatan, pemanenan hingga pengolahan. Sebagai penunjang, MTS masih akan bekerjasama dengan pihak asosiasi SDR dalam hal penyusunan dan penyampaian materi,” papar priadengan background guru bahasa Inggris tersebut.
Program ini juga memberikan pengalaman kepada siswa ketika melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, walaupun hanya 20% siswa yang akan melanjutkan sekolah keperguruan tinggi. Jadi ketika sudah lulus siswa sudah dibekali dengan pengetahuan tentang kopi. Oleh sebab itulah program ini diberikan untuk mengantisipasi siswa yang tidak melajutkan pendidikan diharapkan bisa membantu mengolah perkebunan kopi milik orang tua siswa. Beberapa siswa menjelaskan bahwa mereka sangat senang saat mengikuti ekstrakurikuler pengolahan kopi. Kebanyakan orang tua mereka juga meiliki kebun kopi untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian dijual.
Progam yang akan segera berjalan ini sudah sejak lama didengar oleh wali murid, seperti yang disampaikan oleh Sulastri (42). Wanita paruh baya dengan dua orang anak ini mendukung progam tersebut. Ia memaparkan bahwa akan sangat membantu jika sang anak kelak memahami tentang cara pengolahan kopi yang benar sehingga dapat membantu merawat dan mengolah kebun kopi pribadinya. Senada dengan yang diungkapkan oleh Sulastri, Riwayati (40) yang juga salah seorang wali murid berharap dengan dimasukkanya pengolahan kopi dalam kurikulum sekolah akan bermanfaat bagi peserta didik di masa depannya. “Ya setidaknya anak saya bisa paham dasar-dasar pengolahan kopi gitu mbak,” tutup wanita yang berasal dari desa Petung Sigar tersebut. (Wiji_HMJF)