Anugerah yang diberikan oleh Tuhan salah satunya dapat melihat. Mata adalah jendela hati sekaligus jendela dunia. Hampir seluruh keindahan dunia dapat dibahasakan secara ringkas oleh mata. Panca indera yang satu ini memang luar biasa selain dapat melihat perbedaan antara satu manusia dengan yang lain, juga dapat saling mengenal dan berinteraksi dengan sesamanya.
Pandu Permadi Laksono (24), pria bungsu dari tiga bersaudara asal Kediri ini telah hilang penglihatannya. Sejak november 2012, ia menderita penyakit glukoma dan pada akhirnya ia harus kehilangan satu bola matanya. Kala itu ia masih berstatus sebagai mahasiswa semester lima jurusan Sistem Informasi di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer Kadiri (STMIK Kadiri). Ia terpaksa harus berhenti menempuh pendidikan di bangku perkuliahan karena penyakit yang dideritanya.
Sebelum indera penglihatannya memburuk, dokter menyarankan untuk istirahat tapi ia tetap beraktivitas (latihan sepak bola.red) demi mimpinya untuk memenangkan piala yang terakhir di Walikota Cup. Namun keinginannya tersebut tak berhasil untuk dicapai, ia bersama timnya menyabet juara dua. Tak jauh setelah mengikuti turnamen sepak bolapada april 2013, penyakit glukoma itu telah menghilangkan kedua indera penglihatannya. Disamping itu dari sisi psikologisnya, pandu mengalami depresi, hampir tiga minggu pertamanya ia habiskan di kamar saja. Kini hanya kegelapan yang menemani kesehariannya selama beberapa waktu. Namun dirinya tidak berhenti berjuang menghadapi kerasnya dunia. Ia memutuskam untukmencari pengobatan mulai dari medis hingga alternatif. Namun usahanya tidak membuahkan hasil “Saya bilang ke orang tua kalau sudah malas untuk berobat, saya sudah nyaman dan menerimanya, meskipun dengan kondisi seperti ini ya harus saya jalani,” ujar Pandu.
Setelah beberapa tahun berlangsung, keluarganya mendapat info dari website dan dinas sosial Kediri bila ada tempat rehabilitasi penyandang tuna netra. Keinginannya untuk beradaptasi dengan kehidupan yang baru membawa Pandu masuk keUPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra MALANG (UPT RSCN). Pada 26 januari 2016 ia mulai mengikuti pelatihan tuna netra di UPT RSCN dan terhitung sejak ia masuk dirinya langsung terdaftar sebagai salah satu siswa yang kini sudah di kelas kejuruan. Kelas kejuruhan disini berarti kelas yang berorientasi pada peningkatan pemahaman dan pematangan keterampilan kerja.
Kini Pandu menghabiskan kesehariannya di Wisma Kenanga bersama sepuluh teman lainnya yang juga penyandang tuna netra. Di UPT RSCN ia mendapat bimbingan fisik dan mental mulai dari bersosial, keterampilan usaha/kerja, orientasi mobilitas (belajar berjalan), activity dailing life (kehidupan sehari-hari).Saat ini kelas kejuruhan mulai mempersiapkankearah yang positif yakni bagaimana cara hidup bermasyarakat dan mengembangkan keterampilan yang dimilikinya.
Keterampilan orientasi mobilitas diajarkan untuk melatih penguasaan konsep ruang, jalan, transportasi, benda, melatih kepekaan dan penguasaan berbagai medan. Bimbingan keterampilan activity dailing life dilatih untuk menguasai berbagai keterampilan kehidupan sehari-hari sehingga tunanetra dapat terampil melakukan kebersihan diri, perawatan pakaian, perawatan rumah, berkebun, menjahit sederhana, memasak, perawatan bayi dan anak, serta berbagai keterampilan lain untuk mempertahankan hidup secara normatif dengan mandiri. Bimbingan fisik dan mental dapat berupa pemberian materi keagamaan,pemberian motivasi, penguatan bakat dan minat, kesenian karawitan, senimusik dan hadrah.
Meski memiliki keterbatasan, nyatanya tidak membuat hidup pandu berhenti begitu saja. 5 mei 2017 ia menjadi perwakilan tunanetra se-Kota Malang dalam acara sosialisasi Pelayanan Publik Pojok Braille bersama Abah Anton, Walikota Malang. Layaman Pojok Braille (Lapo Bra) yang merupakan inovasi layanan perpustakaan umum bagi penyandang tunanetra menjadikan Kota Malang menerima penghargaan WOW Public Services Excellence Award Jawa Timur 2017.
Bersyukurlah bagi orang-orang yang bisa melihat, melihat keindahan dunia yang tak bisa dinikmati oleh orang-orang tunanetra. Meskipun kehilangan indera penglihatan, rasa syukur dan kasih sayang dapat mereka lihat. Karena cinta dan kasih sayang tidak ditangkap oleh indera penglihatan kita, melainkan ditangkap oleh hati dan jiwa. Mungkin mata tak bisa memandang namun hati bisa merasakan apa yang tengah disandang. (ULUM/HMJF)