Sinar mentari mengintip malu-malu dibalik awan, tidak seperti biasanya di bulan Desember yang dipenuhi dengan hujan. Pagi ini langit Nampak bersahabat, secerah tawa anak-anak di perkampungan TPU Samaan. Tak jauh dari pemukiman, bocah-bocah sedang asik berkumpul untuk bermain. “Main apaya?” Tanya Novan, anak laki-laki yang bertubuh paling kecil. “Main krupukanyo” Aisyah menjawab. Teman-temannya yang lain setuju untuk bermain krupukan.
Krupukan sendiri merupakan salah satu permainan tradisional yang ada di JawaTimur, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa didaerah lain memiliki permainan yang sama hanya saja namanya yang berbeda. Permainan ini seperti bermain kereta api, dimana ada yang menjadi keretanya dan yang menjadi terowongan kereta api. Novan dan Bima menjadi lorong kereta api dengan cara mereka berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan kemudian tangan mereka diangkat agar teman-temannya bias lewat. Sementara Davina ,Aisyah, dan Gita menjadi kereta apinya. Mereka bertiga saling berpegangan pundak dan bergerak masuk dan memutari terowongan kereta api tersebut.
Mereka akhirnya mulai bermain di sekitar TPU dengan raut wajah yang gembira. Tanpa sedikitpun terpintas dalam pikiran mereka rasa takut. Padahal mereka sedang bermain diparkiran TPU Samaan yang bersebalahan langsung dengan kuburan. Ditambah lagi sehari sebelumnya baru saja ada seseorang yang dimakamkan di TPU ini. Tempat parkirnya sendiri tidaklah terlalu luas, berukuran sekitar enam kali lima meter. Tiga sisi dari parkiran ini berbatasan langsung dengan kuburan dan satu sisinya lagi bersebalahan dengan jalan umum. Parkiran ini sudah menjadi tempat bermain mereka sejak lama. Selain di parkiran TPU, anak-anak ini juga bermain petak umpet di area kuburan. Mereka memanfaatkan mahesan dan pepohonan sebagai tempat bersembunyi.
Setelah merasa capek bermain, anak-anak tersebut memutuskan untuk beristirahat. Mereka kemudian menuju tempat yang mereka anggap sebagai “markas” mereka. Ternyata yang mereka maksud markas disini adalah kuburan yang memiliki atap. Bukan hanya satu, tetapi mereka memiliki sekitar lima tempat yang dijadikan markas. Tak lama kemudian canda tawa terdengar dari tempat anak-anak kecil ini beristirahat. Bahkan kuburan sekalipun tidak menjadi penghalang bagi anak-anak ini untuk bermain.
Adzan ashar berkumandang, di sisi lain pemukiman Samaan tampak Galang pulang dari sekolah mengenakan seragam merah putih dijemput oleh ibunya dengan menaiki motor vespa melewati area pemakaman. Sesampainya dirumah ia bergegas mengganti seragamnya dengan pakaian rumah. Segera ia memanggil teman bermainnya untuk diajak bermain layangan yang telah ia buat kemarin bersama temannya.
Dengan penuh tawa ia dan temannya berlari dengan membawa layangan yang besar menuju TPU, layangan itu tingginya hampir melebihi tinggi badan mereka. Akbar salah satu teman bermainnya menaikkan layangan diatas kepala dan Galang mulai menarik senar dan selang beberapa menit layangan yang besar itu sudah ada di atas langit biru yang cerah. Cuaca cerah dan angin yang berhembus cukup kencang membuat layangan sampai diatas lebih cepat.
“Ayo terbangkan lebih tinggi,”ujar salah satu teman Galang. Ia pun meninggikan lagi layangan itu. Suara canda tawa mereka memenuhi area pemakaman. Beberapa menit berselang layangan mulai turun, bermain layangan pun diakhiri. Layangan itu di letakkan di samping batu nisan terlihat Galang dan teman bermainnya tengah memunguti kulit randu yang berjatuhan untuk permainan mereka. Pertama mereka mengumpulkan kulit randu yang berjatuhan, lalu mengeluarkan isinya dan mulai membawanya ke sungai di sekitar pemukiman rumah mereka.
Mereka memulai balapan kapal-kapalan, kapal di jajarkan di sungai dengan hitungan kapal dilarungkan oleh mereka. Tawa mereka begitu riuh di sungai kapal-kapal mereka saling berkejaran. “Kapalku menang” sambil lompat-lompat dengan tertawa Akbar teman bermain Galang telah memenangkan balap kapal. Hari mulai petang rintik hujan mulai turun awan hitam mulai menutup langit di area pemakaman. “Ayo pulang rek” ajak Galang seraya berdiri dan mulai berlari meninggalkan sungai.
Mereka tidak pernah mengeluh meskipun hanya bias bermain di area pemakaman dengan permainan yang seadanya. Karena menurut mereka lebih menyenangkan bila bermain bersama teman-teman dibandingkan hanya berdiam diri di rumah dan bermain smartphone. Orang tua mereka pun tidak memfasilitasi handphone untuk sarana bermain mereka. Selain orang tua ingin anak-anaknya bersosial dengan lingkungan, orang tua tidak ingin penglihatan mereka terganggu, jadi mereka lebih mementingkan kesehatan anak-anaknya. (HMJF/Mike/Wulan)