Kopi Sridonoretno Pemersatu Umat Beragama
Penghasil biji kopi robusta terbaik se kabupaten Malang yang berada di kecamatan Dampit Kabupaten Malang. Biasanya orang-orang menyebutnya dengan julukan kopi ndampit. Padahal jika kita ketahui kopi dampit sendiri pun memiliki beraneka ragam jenis kopi, contohnya Amstirdam dan adapula Sridonoretno. Kopi Sridonoretno sendiri atau biasanya para penikmat kopi menyebutnya dengan kopi SDR, ternyata bukanlah dari sebuah jenis tanaman kopi, melainkan julukan tersebut diambil dari nama tiga desa yang tergabung dalam asosiasi petani kopi yaitu desa Srimulyo, Sukodono dan Baturento.
Kenyataannya hamper semua orang di Indonesia, menyukai bahkan ada yang mengaku sebagai pecinta kopi sejati. Namun bagi penikmat dan pecinta kopi, kebanyakan mereka hanya sekedar meminum dan sedikit pula yang ingin mengetahui asal usul biji kopi yang mereka minum. Padahal di dalam kopi Sridonoretno tersebut terdapat sepenggal cerita yang menjadi tolak ukur dalam persatuan antar umat beragamanya. Suharto (49) sekalu kepala desa Sukodono mengatakan, dari setiap anggota asosiasi petani kopi kebanyakan dari mereka beragama islam dan sebagiannya beragama kristen, kristen protestan. Namun yang menjadi nilai lebih adalah hubungan sosial budaya yang telah dibangun melalui kebersamaanantarpetani kopi.
Kebersamaan ini sudah di mulai sejak jaman nenek moyang kita terdahulu, dahulunya nenek moyang kita adalah buruh dari jaman pemerintahan kolonial Belanda yang berasal dari Maduran dan Wonogiri yang di asingkan untuk menjadi petani kopi di daerah Dampit selatan ini, imbuh Miskari (38) mantan DPRD Malang, yang sekarang menjabat sebagai penasehat desa Sukodono. Dari sinilah awal perbedaan agama bukan merupakan priyoritas yang biasa diperdebatkan. Sama-sama di jajah, sama-sama merasakan susah dan sama-sama membangun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. “Sangkeng kopi di jajah, sangkeng kopi pisan, perekonomian warga desonipun kudu maju,” (Dari kopi di jajah, dari kopi pula perekonomian warga desa harus maju) tutur bapak berkopiah hitam tersebut.
Hal itupun juga dibenarkan oleh Machmoed (75) selaku pendeta di gereja desa Srimulyo dan sekaligus ketua asosiasi petani kopi di desa Baturetno. Bahwa persatuan antar umat beragama ini sudah menjadi budaya tersendiri bagi warga tiga desa tersebut. Seperti dalam sebuah panen raya kopi setiap tahunnya, semua warga ikut andil dalam sebuah acara syukuran. Syukuran tersebut rutin diadakan tiga desa setiap tahunnya pada bulan suro, syukuran ini bertujuan untuk ucapan terimakasih kepada Tuhan yang telah memberi rejeki dan penghidupan warga tiga desa melalui hasil alam yang berupa kopi.
Semua umat beragama baik itu muslim maupun kristen dan kristen protestan dalam perasaan pengucapan syukur dan berterimakasih kepada Tuhan itu sama, didalamnya adanya keselarasan dan tujuan yang sama yaitu bersama memajukan kopi Sridonoretno. Kebersamaan antar umat beragama di tiga desa tersebut tidak hanya terwujud dalam bentuk syukuran itu saja. Hal ini dapat dilihat ketika memasuki perayaan hari besar umat beragama. Contohnya dalam acara hari raya idul fitri umat islam, pemeluk agama kristen dan kristen protestan berbondong-bondong berkunjung dari rumah ke rumah untuk mengucapkan salam. Begitu juga saat hari natal umat kristen, warga pemeluk agama islam juga melakukan hal yang sama.
Lalu keselarasan itu begitu terasa ketika mereka makan bersama, ngobrol bersama dan saling tukar pemikiran. Faktanya memang benar, adanya kopi sridonoretno itu bisa mempererat persaudaraan dan antar umat agamannya, Suaji (47) salah satu ketua asosiasi petani kopi Sridonoretno di desa Baturetno mengatakan. Kopi bukan sekedar alat pemersatu warga tiga desa saja, kopi juga merupakan sebuah meditasi kita terhadap tuhan untuk memperlakukanya dengan baik seperti merawat anak kita sendiri. Karena Tuhan tidak akan membeda-bedakan hasil bumi kepada umatnya “yang maha pengasih lagi maha penyayang”. Jika kita merawatnya dengan baik maka hasilnyapun menjadi baik, lalu jika hasilnya baik maka kopi Sridonoretno pun akan digandrungi oleh para penikmatnya.
Kemudian menurut Sukri (49) ketua asosiasi petani kopi Sridonoretno dari desa Sukodono, mengatakan dari bahasa petani kopi biasanya terdapat kata ajakan yang berupa “ayo ngopi” kata ini pun memiliki banyak makna yang dalam artian ajakan untuk berkumpul, sampai mengawali sebuah perbincangan bersama-sama untuk menemukan sebuah ide. Kemudian dari secangkir kopi para petani mendapat teman baru bahkan saudara baru. “Dari kata “ayo ngopi” tersebut berkembang dari petani kopi hingga masuk ke dalam para penikmat kopi sendiri tanpa membedakan agamanya. Karena kopi tidak membeda-bedakan agama dan kopi membawa sebuah senyuman didalamnya terdapat canda, tawa, kebersamaan dan persahabatan,” tutur pria paruhbaya tersebut. Seperti yang diketahui didalam sebuah secangkir kopi kita akan menemukan kehangatan, kenikmatan dan kepahitan. Seperti itulah wujud suatu kehidupan ada keselarasan di dalamnya dan tidak ada perbedaan antar pemeluk umat beragamanya. (Azam/HMJF)