Kebijakan PT Garam dan Petani Garam terhadap Buruh Petani
Sampang, Madura – Pulau yang terkenal dengan penghasil garam tersebut tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Madura, Kecamatan Sampang misalnya. Di Pengarengan ini terdapat perusahaan maupun oknum yang mengelola tambak garam, seperti Perseroan Terbatas (PT) Garam yang sudah berada di bawah naungan negara dan Garam Rakyat yang dikelola oleh rakyat. Pengelola Garam tersebut memiliki kebijakan-kebijakan tersendiri terhadap Buruh Petani garam, kebijakan tersebut berupa sistem penggajian atau lebih dikenal dengan sistem bagi hasil. “PT Garam maupun Garam Rakyat menggunakan kebijakan penggajian berupa sistem bagi hasil,” ungkap Saiful Ulum (42) selaku mitra PT Garam (22/08).
Sistem bagi hasil dilakukan karena hasil penjualan garam tiap panennya selalu memiliki perbedaan dari segi harganya. Dari hal tersebut itulah pemilik garam dengan buruh petani melakukan bentuk kerjasama dengan sistem bagi hasil. Kebijakan tersebut muncul karena dianggap saling menguntungkan bagi pemilik lahan maupun buruh petani garam. “Bagi hasil dilakukan agar tidak ada yang merugi, khususnya bagi buruh petani garam,” ungkap Saiful Ulum. Sistem Bagi Hasil sendiri yang sudah ada sejak ….. merupakan sistem yang dilakukan untuk menggaji para buruh petani.
Antara PT Garam yang yang bermula bernama Perum Garam maupun Pengolahan Garam oleh rakyat (Petani Garam.red) mempekerjakan buruh petani untuk menjaga maupun mengolah tambak garamnya. Buruh petani garam tersebut ada dua macam yakni Manthong dan Anthek. Manthong dan Antheklah yang bekerja langsung di lapangan, sedangkan pemilik tambak tidak langsung terjun ke lapangan. Meskipun ada banyak Manthong dan Anthek yang bekerja di PT Garam ataupun di Petani Garam, tapi sistem bagi hasil mereka tidaklah sama.
Meskipun PT Garam berada di bawah kendali negara, menurut Saiful Ulum bahwa PT Garam masih mempekerjakan masyarakat Madura penduduk asli Desa Pengarengan. Dari 1.100 hektar tambak milik PT Garam dikelola oleh dua orang perdua petaknya, yakni dengan luas 15 meter dan panjang 120 meter perpetaknya. “Dua petak tambak tersebut dikelola oleh dua pekerja,” ungkap Pria yang akrab disapa dengan Haji Ulum ketika ditemui di kediamannya.
Dua orang pekerja tersebut yaitu Manthong, selaku penjaga penuh tambak garam dan Anthek yang membantu pengerjaan Manthong. Menurut Thomy (32) selaku Kepala Seksi (Kasi) Kristalisasi PT Garam, sistem bagi hasil antara PT Garam dengan pekerja yaitu seperti gaji karyawan pada umumnya yakni mengikuti Upah Minimum Regional (UMR) di Kabupaten Madura, hanya saja perhitungannya digaji tiap hari tanpa tambahan makanan maupun minuman. “Tetap bagi 1/3, hanya saja dihitung setiap hari,” ungkap Thomy (22/08).
Antara gaji Manthong dan Anthek mengalami perbedaan, yakni gaji Manthong lebih banyak daripada gaji Anthek. “Gaji Manthong setiap minggunya rata-rata Rp490 ribu sedangkan gaji Anthek Rp400 ribu,” ungkap Thomy ketika dihubungi kru HMJF via telepon. Selain itu, untuk gaji pungut garam yang dikerjakan oleh Manthong dan Anthek digaji langsung oleh PT Garam dengan berbeda gaji dari UMR.
Dari Manthong dan Anthek, mendapat gaji tambahan dari PT Garam Rp18.000,00 dibagi dua orang yakni untuk Manthong dan Anthek. Manthong sendiri yaitu memungut garam dari tambak ke tepi tambak, sedangkan Anthek yaitu memikul atau membawa garam dari tepi tambak ke tepi jalan. “Jika bisa sampai pada target, Manthong dan Anthek bisa digaji Rp2.000,00 per ton setiap harinya,” ungkap Thomy.
Pada PT Garam, terdapat mandor yang mengecek jalannya pekerjaan dari Manthong, gaji mandorpun rata-rata sebesar Rp490 ribu setiap minggunya. “Mandor dan Manthong gajinya tidak jauh berbeda, karena mandor hanya mengecek dan berkeliling di tambak-tambak,” ungkap Thomy.
Berbeda halnya dengan Garam Rakyat, menurut Haji Ulum, sistem bagi hasil antara petani garam dan buruhnya (Manthong dan Anthek.red) yaitu 1/3, yakni hasil garam dibagi menjadi tiga, satu bagian untuk buruh dan dua bagian untuk petani garam. Petani garam mendapatkan dua bagian karena selain yang memiliki tambak, juga mengeluarkan modal yang besar. Selain itu, petani garam mempersiapkan lahan untuk dijadikan tambak garam. “Manthong dan Anthek mendapat kiriman makanan dan minuman dari petani garam, berbeda dengan di PT Garam tidak mendapat kiriman tersebut,” ungkap Haji Ulum selaku pengelola Garam Rakyat.
Meskipun begitu, para pekerja tambak garam dari pekerja PT Garam maupun Garam Rakyat menurut Kepala Desa Pengarengan bahwa tingkat ekonomi mereka masih rendah, berbeda dengan pemilik PT Garam dan petani garam. “Ketika petani garam memiliki minimal lima Manthong dan Anthek, maka bisa dikatakan sudah sukses. Bisa bayangkan bagaimana tingkat ekonomi buruh petani bukan? Tentu masih rendah,” papar Mochamad Aksan (42) sang Kepala Desa Pengarengan (23/08). (Emond A` HMJF)