Arti Dibalik Topeng  

 

[metaslider id=1064]

Malang merupakan kota yang terkenal sebagai kota pendidikan dan pariwisata. Selain itu, kota ini mempunyai warisan budaya yang patut dilestarikan, yaitu kesenian topeng Malangan. Salah satu pelestarinya adalah Handoyo (36) sekaligus sebagai pemilik padepokan Seni Topeng Malangan Asmorobangun yang terletak di Jl. Prajurit Slamet dusun Kedungmonggo desa Karang Pandan kecamatan Pakisaji. Sebelumnya padepokan ini bernama Pandowo Limo, namun pada 1970 silam Karimun (almarhum) yang tidak lain adalah kakek dari Handoyo, menggantinya menjadi Padepokan Seni Topeng Malangan Asmorobangun.

Sebagai Sang Maestro topeng Malangan, Karimun (almarhum) telah mewariskan keahlian yang dimiliki kepada Handoyo. Mulai dari membuat kerajinan topeng hingga menari Topeng Malangan. Berbekal keahlian tersebut mempunyai kepercayaan untuk menjaga dan melestarikan kesenian Topeng Malangan. “Siapapun yang ingin belajar, akan saya ajari. Mulai dari proses pembuatan topeng hingga menari topeng Malangan,” ungkap Handoyo sambil memperlihatkan gambar-gambar topeng yang dimilikinya (28/3).

Menurut Handoyo, topeng adalah kayu yang di ukir dan dibentuk menyerupai wajah yang menggambarkan karakteristik dan ekspresi seseorang, seperti tertawa, menangis, tersenyum, sedih, malu dan marah. Ciri khas ornamen pada topeng Malangan ialah adanya sinom yang melambangkan alam semesta, urna yang melambangkan karakter manusia, dan cula yang melambangkan sosok penguasa.

Awalnya, topeng Malangan buatan Mbah Karimun berbahan kayu beringin, kayu nangka dan kayu jati yang bertekstur keras. Menurut kepercayaan orang jawa, bahwa setiap pohon ditempati oleh roh-roh nenek moyang, apalagi pohon yang berusia panjang. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk efisiensi dalam pengerjaan topeng di pilihlah kayu sengon. Berbeda dengan ketiga kayu beringin, nangka dan jati yang mengalami pertumbuhan lebih lama dari pada kayu sengon. Dari segi usia, kayu sengon yang berusia empat tahun sudah bisa di ukir untuk membuat topeng.

Meskipun terbuat dari jenis kayu yang berbeda, ciri khas ornamen tetap sama. Yang membedakan adalah perlakuan terhadap kayu sebelum dibentuk menjadi topeng dan sesudah menjadi topeng. Untuk memulai membuat topeng yang berbahan kayu beringin, harus mencari hari yang dianggap baik menurut kepercayaan orang jawa. Setelah kayu dibentuk menjadi topeng, topeng akan di suguh di punden desa.

“Padepokan Seni Topeng Malangan Asmorobangun memiliki 76 karakter topeng,” kata Handoyo. Dari karakter yang ada dibagi dalam empat kelompok besar. Kelompok pertama yang berperan sebagai sosok Panji, yang berkarakter gagah berani, penuh semangat, tidak mudah putus asa, loyal, sabar, welas kasih, karismatik, pengabdian terhadap orangtua besar dan berbudi luhur. Ditampilkan dengan ciri mata yang indah (sipit), berhidung mancung ujungnya meruncing, berkumis tipis (kumis kucing yang melambangkan ketenangan), bibir tipis, ekspresi tersenyum, gigi tampak tersusun rapi, tidak bertaring serta ukiran hiasan kepala (irah-irahan)  bermotif kembangan (sulur atau bunga.

Kelompok kedua merupakan golongan raksasa, dipimpin oleh Klono Sewandono yang berusaha menaklukkan kerajaan lain. Pasukan klono berasal dari negeri sabrang, yaitu kerajaan diluar pulau jawa. Tokoh ini berperan sebagai tokoh antagonis yang berwatak sombong, pethakilan (semaunya sendiri), suka berkelahi, agresif, dan keras. Ciri khas bentuk topeng klono digambarkan dengan mata melotot, bertaring, alis tebal, kumis yang tebal (bundhelan melambangkan pendirian yang teguh, njlaprang melambangkan kewibawaan), dan hiasan kepala bermotif binatang seperti garuda, naga dan gajah yang melambangkan kekuatan dan kekuasaan.

Kelompok ketiga adalah topeng yang menggambarkan tokoh abdi (pembantu). Abdi laki-laki disebut dengan demang sedangkan abdi perempuan disebut emban. Hidung tokoh abdi berbentuk pesek yang melambangkan kesetiaan menemani bendhoro (majikan). Topeng abdi tidak memiliki ornamen di sisi wajah. Hal ini yang dapat membedakan antara tokoh yang berkedudukan tinggi dan berkedudukan rendah.

Kelompok keempat adalah topeng yang berwujud binatang seperti, nogo taon, laler ijo dan celeng srenggi. “Tokoh ini sebagai pelengkap cerita,” tambahnya.

Pewarnaan pada topeng memperlihatkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Perbedaan warna mempengaruhi sifat dari tokoh yang ada. Seperti warna putih melambangkan sifat yang suci, jujur dan berbudi luhur. Warna merah perlambang keberanian, biasanya digunakan pada tokoh raksasa yang menggambarkan angkara murka. Warna hijau sebagai perlambang kedamaian sedangkan warna hitam dan biru melambangkan sifat yang bijaksana dan warna kuning melambangkan keceriaan atau kesenangan.

Namun, warna bukanlah faktor utama penentu tokoh topeng. Dasar utama untuk menentukannya adalah dengan melihat bentuk topeng. Jika topeng bertaring sudah tentu tokoh klono.  Ada juga topeng tokoh panji yang ditampilkan dengan mata melotot, tetapi tidak bertaring, begitupun sebaliknya. Secara keseluruhan, topeng menggambarkan kehidupan di dunia. Terbukti dengan adanya tokoh panji yang mewakili sifat –sifat kebaikan, gagah berani dan budi pekerti yang luhur. Tokoh klono (antagonis) yang mewakili sifat angkara murka, keserakahan dan kejahatan. Kesetiaan para abdi dalam menemani majikannya. Topeng merupakan penggambaran dari karakter nenek moyang,” ujar Handoyo di akhir pembicaraannya. (Ari HMJF)

 

 

 

About the Author: hmjfunikama

HMJF merupakan salah satu UKM yang ada di Universitas Kanjuruhan Malang. Berdiri sejak 10 Juni 1989. HMJF berkecimpung dibidang Fotografi dan Jurnalistik. Sebuah tempat untuk membentuk karkater, kepribadian dan pengembangan bakat, minat, serta kreativitas.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *