Aji Godong Garing
Aji godong garing yang mempunyai arti harfiah daun kering yang mempunyai nilai guna! Sebagian masyarakat awam pasti belum terlalu akrab mendegar sepenggal peribahasa jawa ini. Selarik peribahasa ini memiliki arti wes ora onok ajine babar blas (sudah tidak memiliki nilai sama sekali). Bukan hanya manusia sebagai objek dari aji godong garing itu sendiri, melainkan benda pun bisa menjadi objeknya. Yang dimaksud sebagai manusia lebih baik dari aji godong garing, yaitu orang-orang yang hanya menjadi pengganggu di masyarakat. Bukan hanya pengganggu di masyarakat, melainkan bisa juga hanya menjadi beban untuk masyarakat sekitar. Untuk benda itu sendiri bisa berupa benda yang sudah dianggap tidak berharga, tidak terpakai bahkan bisa juga itu dianggap sebagai sampah.
Menurut penuturan dari Sukarni (85) salah satu dosen pensiunan Universitas Negeri Malang dan Budayawan ini mengatakan bahwa daun kering saja masih ada harganya. Bila menurut kalimat dari Sukarni, ini berarti manusia maupun benda yang sudah tidak berharga di mata masyarakat, karena daun kering saja masih memiliki nilai guna. Salah satu contoh ini menunjukan suatu hal yang oleh masyarakat dianggap benda yang tak bernilai, tetapi diolah menjadi karya yang bernilai tinggi. Dengan kekreatifan yang dipunyai, mampu menghasilkan karya yang bercita rasa seni tinggi serta menjadi produk unggulan untuk diimpor ke luar negeri.
Bonggol bambu, benda yang hanya dipandang tak bernilai dan dibuang begitu saja, namun tidak bagi Joko Pratomo (33). Ia memungut beberapa potong bonggol bambu dari sungai Metro untuk dijadikan bahan percobaan. Sesampainya di rumah, ia langsung membuat desain. “Dari corat coret inspirasi saya tercipta bentuk kalajengking. Itu hasil karya bambu saya yang pertama,” kenang pria berkumis ini. Dengan sisa uang tabungan sebesar Rp 300.000 Joko memulai bisnisnya.
Sejak memulai bisnisnya pada tahun 2000, ia mulai membeli berbagai peralatan pertukangan. Memang dasarnya seniman, setelah bentuk kalajengking muncul ide-ide yang lain. Seperti bebek-bebekan yang dibuat dalam berbagai jenis, ada asbak, tempat pensil dan juga kotak tisu. Pria yang akrab disapa Joko ini mengatakan bahwa, saya punya keahlian, kenapa tidak saya dimanfaatkan?. Produksi pertamanya berupa sepuluh unit bebek-bebekan, satu unit orang-orangan tipe etnik, dan kupu-kupu. Semua itu dipamerkan di Inacraft yaitu pameran kerajinan tingkat nasional yang berlangsung di Jakarta Convention Center pada tahun 2002.
Sejak karyanya mulai dikenal khalayak umum, ayah dua anak ini pun merekrut pegawai. Alih-alih tetangga sekitar rumah, ia malah merekrut mantan narapidana. Lagi-lagi alasannya pun, “mantan napi yang dianggap sampah oleh masyarakat ini bila diberi kesempatan akan menjadi baik,” tuturnya. Ia pun menjelaskan targetnya pasar luar negeri sebagai sasaran dari kerajinannya tersebut. Amerika, Belanda, Jepang, Belgia, Dubai, dan Australia telah menjadi importirnya selama ini. Setelah banyak importir yang tertarik dan memesan, ia membuka delapan bengkel kerja. Tersebar di area Malang hanya untuk memenuhi pesanan dari pelanggan. Tak lupa pula rumahnya yang beralamat di Jalan Raya Kebon Agung, No. 28 ini pun dijadikan bengkel untuk memproduksi pesanan.
Ia pun telah mendaftarkan hasil kerajinannya tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM untuk memperoleh hak paten.
Mengembangkan modal dari Rp 300.000 yang kini menjadi omset miliaran rupiah merupakan hal yang patut disyukuri. Kepada calon pengusaha ia berpesan, menjadi pengusaha, modal uang bukan hal yang utama. Yang terpenting adalah kemauan, percaya diri, dan juga kemampuan.
Senada dengan Joko Pratomo yang menerapkan arti peribahasa dari aji godong garing, ada pula Ono Sumarsono (70) seorang seniman besi bekas. Pria asal Comboran ini telah bergelut di bidang seni sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. “Saat saya SD saya bercita-cita menjadi pandai besi,” tutur pria yang mempunyai tiga anak tersebut. Bahkan dia sering membolos, hanya karena ingin fokus membuat karya seni dari besi bekas. Bila ia melihat besi bekas, dalam benaknya sudah tergambar imaginasi-imajinasi yang hendak ia akan membuat karya seni apa.
“Saya dari kecil hidup di lingkungan yang sekelilingnya banyak besi-besi bekas, daripada menganggur saya otak atik menjadi benda yang mempunyai nilai seni,” jelas pria yang sudah mempunyai sembilan cucu ini. Bukan hanya memanfaatkan barang bekas, melainkan ia juga menyalurkan jiwa seninya. Berangkat dari dulunya ia bekerja sebagai pandai besi, ia mulai menyalurkan bakat seninya.
“Rumah saya di dekat rel yang ada gerbong-gerbongnya membuat saya sudah tidak asing lagi melihat besi bekas,” paparnya. Proses pembuatannya pun tergantung benda yang akan dibuat maupun tingkat kesulitannya. Ada yang hanya seminggu sudah selesai, ada juga yang proses pembuatannya mencapai lima bulan. Pria lulusan SMA Muhammadiyah Malang ini mengaku dirinya lebih tertarik di bidang seni yang membuatnya terus bersinar di dunia seni. Beberapa karyanya pun dipamerkan di ICC. Pandaan.org.
Tidak hanya sekedar menciptakan, tetapi karya seninya pun telah dipamerkan di berbagai negara. Dia juga tidak mematok harga khusus dari karya yang ia ciptakan. “Karya seni saya sudah untung dihargai oleh banyak orang bukan uangnya,” tutur pria yang mempunyai rambut gondrong tersebut. Pria bertangan dingin ini juga mengungkapkan bahwa, saya ingin terus bisa berkarya menciptakan sesuatu yang bernilai seni tinggi, dan juga ada generasi muda yang mengikuti jejak saya sebagai seorang seniman besi bekas.