Lalu-lalang kendaraan yang melintasi jembatan Muharto menjadi pemandangan yang lumrah. Pada salah satu sudut jembatannya terlihat pria tua yang menyandarkan pungung rentanya pada tembok usang. Sejajar dengan tinggi keranjang kayunya, mbah Man duduk menyandar sembari mencari barang bekas pada bungkusan-bungkusan plastik hitam yang menggunung di ujung jembatan. Sesekali mata sipit dan keriputnya terus melihat pada keramaian jalan, namun arah pandangnya tetap tak berpenghuni.Ialah pria yang tetap berusaha kuat di usia senja yang melebihi seabad lamanya dan tak dipungkiri lagi Ia hanya hidup seorang diri. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit berjalan dari jembatan Muharto untuk sampai di rumahnya. Rumah yang Ia tinggali tak hayalnya sebuah gudang penyimpanan barang, tumpukan kertas terikat memuncak di setiap sudut rumahnya. Beberapa botol kaca dan plastik bekas, turut menghiasi dinding ruangan berukuran 3×5 meter tersebut. Hanya terdapat satu jendela yang menghadap ke arah sungai, tepatnya berada di depan dua tumpuk kasur yang biasa digunakan mbah Man untuk merebahkan tubuhnya. Aroma berang bekas yang dikumpulkannya semerbak menjadi satu ruangan, namun tak sekalipun mengurangi ketenangan mbah Man saat terbangun dikala adzan subuh berkumandang.
Mata sayunyaterbukakemudianmenutupkembaliuntukmenyesuaikancahaya yang masuk di retina, merasakan apakah sinar matahari sudah cukup untuk menerangi langkah kakinya menuju sumber. Letaknya yang berada di pinggiran sungai mengharuskannya untuk berjalan menuruni puluhan anak tangga. Tangannya sesekali bertumpu pada pegangan besi di sepanjang jalan menurun, namun langkah kakiknya tetap cepat seperti biasa. Taksepertikebanyakan orang, mbah man hanyamembawasepotongkainsebagaipenggantihanduk yang terselipdalampecihitamlusuhnya.Meskitakadasabunmaupunsikatgigi, mbah man tetapmenjalankanrutinitasmandinyadenganguyuran air dingin yang membasahitubuhrentanya. Tak lama setelah itu,ia bergegas ke warung di dekatgang rumahnyauntuk menghangatkan tubuhnya dengan secangkir kopi panas.
Kain lap yang masih melingkar di lehernya sesekali dikebaskan perlahan di sela-sela langkah kakinya. Bulir-bulir air yang masih menempel di kaki terserap pakaiannya saat berjalanmenanjak. Hanya dengan uang lima ribu mbah Man menikmati sarapanya berupasebungkus nasi dan segelas kopi panas. Menjadisebuahrutinitassetelahmakan, mbah man akanmenghisapsebatangrokokkemudianberjalanpulang.
Pundaknya yang terbiasa memikul dua keranjang besar membuat jalannya kian lama kian membungkuk sekalipun saat sedang tidak memikul. Sesampainya dirumah segeralah Ia membuka pintu sebelah timur kumudian diambillah dua buah keranjang bambu besar yang tersusun di salah satu sudut rumahnya. Tak lupa dengan sebatang kayu sebagai pemikulnya. Cuaca kala itu cukup menawan, tak seperti biasanya yang selalu mendung. Rupanya musim hujan bulan November telah mendekati akhir, namun mbah Man tetap membawa plastik penutup keranjang jika sewaktu-waktu hujan kembali mengamuk.
Peci hitam berisi kain lap menjadi ciri khasnya saat memikul keranjang. Ia memiliki jalan alternatif untuk sampai di jembatan Muharto yakni dengan melewati gang-gang sempit. Bugkusan hitam terlihat menggunung. Di ujung jembatan Ia meletakkan keranjangnya dan mulai membuka gundukan plastik hitam satu per satu. Tak asing lagi dengan bau tak sedap yang keluar dari dalam bungksan hitam, tangan keriputnya tetap memilah dan memilih sampah. Berjam-jam ia habiskan di ujung jembatan itu sambil menunggu sampah baru yang akan diletakkan warga sekitar. Kembali Ia keluarkan sebatang rokok dari saku bajunya untuk dinikmati. Mata sipit dan keriputnya sesekali melihat keramaian jalan namun tak satupun yang mampu membuatnya melihat dengan seksama.
Terihat seorang pengendara motor mematikan mesinnya beberapa meter dari depan mbah Man, kemudian berjalan mendekainya. Tak cukup jelas pesan apa yang disampaikan, namun tangannya terlihat menggenggamkan uang untuk mbah Man. Adalah bukti-bukti lain dimana Allah tidak membiarkan hamba-Nya sediri dengan keterbatasannya. Juga sebagai bukti bahwa Allah tetap menggerakkan tangan-tangan dermawan sebagai perantara kebaikanNya. Bahkan bantuan tersebut sering datang dari anak-anak kecil yang terkadang juga memberinya makanan ringan ataupun uang yang jumlahnya tidak seberapa saat beberapa kali langkahnya terhenti untuk meluruskan kembali otot-otot kakinya di pinggir gang.
Ketikacahayamentaritampakmembiasdenganperpaduanwarnakuningdanorange, mbah man bergegasmembereskanpekerjaannyauntukdiangkutpulang.Keranjangnya hampir penuh dan botol air minumnya juga hampir habis. Dengan keranjang yang telah terisi penuh, mbah Man kembali menyusuri gang sempit menuju rumah. Sesekali Ia mengehentikan langkah untuk meluruskan otot kakinya. Tepatnya di gapura Muharto gang 7A, Ia duduk bersandar sembari menikmati sebatang rokok.
Saat berangkat lebih pagi mbah man pulang di siang hari, namun saat berangkat di siang hari Ia akan pulang disore harinya. Ketika Ia pulang di siang hari terik matahari yang menyengat menjadi teman sepinya. Jalan sempit yang dilalui dan jarak yang ditempuh manjadi saksi bagaimana Ia bertahan di tengah-tengah kehidupan perkotaan yang keras. Sambil memikul keranjang yang bukan hanya berat untuk ukuran pria yang lanjut usia, mbah Man tetap semangat bekerja.
Demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya, aktivitas mengumpulkan barang bekas menjadi rutinitas yang terus menerus dilakukan. Perlahan tapi pasti. Sedikit demi sedikit, hari demi hari tumpukan sampah dan kertaspun mencapai ketinggian hampir menyentuh atap. Untuk menjual barang-barang tersebut mbah Man tidak perlu menjemput bola namun sebaliknya. Pengempul akan datang untuk mengangkut barang-barang tersebut dan menggantinya dengan lembaran uang seratus ribuan.
Hanya satu yang terkadang menyurutkan niatnya untuk bekerja, yaitu hujan. Tak jarang seharian penuh ia habiskan untuk membaringkan tubuh rentanya sembari mendengarkan suara radio butut yang mengudara di ruang sempitnya. Perpaduan alunan musik dangdut dengan rintik hujan menemaniya melewati kesendirian yang begitu lama. Bibirkeringdankriputnyamengatupengganberbicaranamunbatinnyamengembaramemikirkankehidupan yang dijalaninya.
Disela waktu senggangnya, mbah Man terkadang mengunjungi rumah Suami,salah satu tetangga yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya sebelum rumah yang sekarang ditempatinya. Seakan sudah menjadi bagain dari keluarga tersebut, mbah Man langsung duduk di sofa kesukaannya. Kedatangannya selalu disambut hangat oleh wanita paruh baya yang menggap mbah Man seperti bapak sendiri. Segelas kopi panas menjadi sajian wajib saat mbah Man datang lengkap dengan gorengannya.
Mbah man terlihat asik mendongeng ditengah-tengah salah satu keluarga yang pernah merawatnya dulu. Seakan sudah menjadi keluarga sendiri, seakan seperti berbicara dengan anak dan cucunya sendiri. Sekalipun pendengarannya tak lagi senormal saat masih muda dan ucapannya sudah tidak lagi jelas, ia tetap gemar bercerita. Merekapun tertawa lepas. Potret sebuah keluarga yang bahagiameski tanpa adahubungan darah, hal inilah yang menjadi buktibagaimana makna “keluarga” yang sebenarnya.
Dikelilingi orang-orang yang luar biasa menjadikan mbah Man menjadi sosok yang lebih luar biasa lagi. Tak ada lagi teman hidup tidak mematahkan semangatnya menjalani kehidupan. Terbukti bahwa kepercayaannya kepada Sang Ilahi membuat hidupnya tetap bahagia dengan peduli kasih orang-orang disekitarnya. Merengkuh rasa damai dalam diri untuk menciptakan kebahagiaan, hal yang tak dimiliki banyak orang namun dimiliki olehnya. Mbah Man.
“Fisiknya boleh menua, namun semangat tetap muda” sebuah ungkapan yang layak untuk seorang pria yang usianya mendekati satu seperempat ini. Bertahan hidup untuk dirinya sendiri tak membuat semangatnya melemah. Ia tetap berusaha mandiri tanpa mengandalkan pemberian orang lain. Kepercayaannya pada Sang Kuasa menjadi kunci pertahanan yang tiada tara. Meski hidup sebatang kara, Sang Pencipta tetap mendatangkan keluarga keluarga baru yang menyayangi mbah Man. (Wiji/HMJF)